Minggu, 19 Januari 2014

Cerpen

Cerpen Pucuk-Pucuk Puisi Untuk Salju Salju yang dingin itu menggigil ketakutan Bukan karena mentari yang sedia hangatkan Tapi oleh diriku penabur dosa dan kepedihan Ku terpaku melihat wajah mesjid yang masih hitam. Kelam. Dipadu langit yang tak kunjung kemerah-merahan, bunga-bunga ilalang bermekaran. Doa-doa sambut pagi berkumanang lewat angin dari lautan. Dingin. Tapi bagai dilindungi selimut tebal aku masih bisa bertahan. Salju akan pergi kenegri seberang, setidaknya aku menyiapkan syair-syair perpisahan untuk luapkan perasaan. Walau galau tak tertahankan. Pena harus kembali berjalan tancapkan kasih yang mungkin kasih sayang di secarik kertas dengan cahaya seadanya. Untuk salju yang berbahagia di negri seberang Aku luluh kau tinggalkan Maafkan rasa yang tak tertahankan Kasih yang mungkin kasih sayang Kopi masih panas-panas kuku kuseruput perlahan. Masuk kedalam dengan kehangatan yang makin melindungiku dari dinginya malam menjelang pagi ini. Apakah maha bersalah datang dengan menghujan, hingga aku tak bisa tidur 2 hari 2 malam. Lengkingan doa akan diakhiri adzan merasuk umat tuk abdikan dirinya kepada Yang Maha Kuasa. Hari ini semua itu malah membuatku semakin tertekan atas ingatan dosa yang berkepanjangan. Aku tertangis tanpa perlawanan. Salju rindukanlah aku kemudian Sekecil-kecilnya adalah kehormatan Tapi jangan sampai tak tertahankan Seperti pernah kukatakan; “ aku hanya persinggahan yang butuh kenangan !!” aku kembali mengingatnya menangis dipelukanku malam itu. Ia tak henti lukai dirinya tuk lukai aku. Beberapa kali kucoba kembali mencumbu. Ia tak hiraukan– karena hati terlanjur tersayat sembilu. Kasih muncul di bulan Fitri. Tetapi setelah perpisahan. Kurasa itu cukup untuk dijadikan jawaban untuk manusia yang diliputi dusta seperti diriku. Bagiku lebih baik dihentikan sekarang. Karena sedih sesaat akan membawa hikmah untuk hati yang masih sama-sama belajar kehidupan. Hari ini dedaunan, angin sepoi, senja keemasan, bunga ilalang terasa hambar. tak ada membuatku bertahan. Mereka hilangkan keindahan untuk adili aku yang mereka kira telah nodai salju. Berjalan diantara mereka bagai dihardik seribu cemooh walau itu semu. Mungkin bagi mereka aku manusia batu yang terbentuk dari ombak masa lalu. Hanya menyebar dendam dan khianat terhadap cinta. Apakah mereka pernah mengerti deritaku, menyelam keberbagai samudra hati sekedar mencari cinta sejati– walau aku makin luluh lantah dalam hina dunia ini. Pagi buta ini tak banyak berubah seperti tadi malam. Langit kelam yang berbintang dan duduk anggun tuan rembulan, hanya saja mulai dingin karena embun ikut berselancar lewat angin. Untuk sahabat yang menaruh kasih pada salju Salju mencair bukan tak menentu Tapi inilah waktunya ia mengalir disungai yang berliku Wajar bila kalian mencambukku Karena salju terlihat merah oleh darah ku Aku bukan Tuhan yang mempunyai rencana panjang Aku hanya si hina yang hanyut dalam cerita penyair dan anaknya; Tat kala penyair itu meninggal Ia hanya tinggalkan gurindam Tentang sungai sungai di india Yang alurnya bagai hidup yang pula berliku tak menentu Aku teringat pertama kali bertemu salju. Dibalik parasnya yang biasa-biasa saja. Karena ia hanya membawa putih dan tak ternoda. Bagai kapas yang selembut-lembutnya. Kadang bisa kulihat peperangan antara keceriaan dan penderitaan. Sewaktu-waktu ia menatap kosong, menangis dan memetik tembang ciptaan. Dan pabila waktu berlalu, ia serupa bunglon yang mengganti kulitnya. Berubah riang gembira, tertawa, bercanda, dan melantunkan lagu sinderlela. “oh salju yang tampak beku!! “. Hari itu aku jatuh yang mungkin jatuh cinta kepada mu. Saat kau tertawakan dunia, dan semua manusia disekitar kita. Kami tertawa. Hingga waktu berlalu berjalan seenaknya sampai salju dan aku menjadi “kita”. Semuanya langsung berubah bagai bermetamorfosa. Semua kebebasan terkekang. Dunia disekelilingku juga menghujani aku dengan hasutan “api dan salju memang sudah takdir tak bisa disatukan!!”. Aku bimbang, galau dan kacau. Hingga beberapa pertanyaan menikam “mau dibawa kemana sebuah hubungan? Untuk apa, kalau hanya akhirnya perpisahan!!”. Aku yang tak pernah yakin pada diriku sendiripun terombang-ambing, sampai kiranya kami tiba di dermaga perpisahan. Tepatnya bukan perpisahan, hanya inilah jalan yang kupikir mengembalikan keceriaan diuapnya yang putih menggoda, serta dingin menikam. Walau kusadar sesaat ia akan di rundung kesedihan. Sementara cemooh dunia kepadaku entah sampai kapan? Jangan kau menangis disana Karena telepati kita tetap terjaga Janganlah pula kau terlalu tertawa Karena tertawa yang terlalu akan berakhir tangis pula Pesona mulai terlihat di ufuk timur. Cahaya merah keemas-emasan terpantul sederhana di langit yang biru penuh senyuman. Ayam jantan berkokok saut-sautan. Dendangkan lagu selamat pagi kehidupan. Sudah saatnya mengakhiri pucuk-pucuk puisi picisan. Akan kuberikan lewat nyanyian burung kutilang yang akan terbang kebarat. Akhirnya dapat kulihat salju kembali putih, lembut, dan mempesonakan setelah kepergianku dari ikatan. Ia harus pergi ke negri seberang. Yang ku bisa sekarang hanya memperhatikan, menatap, serta titip kata persahabatan. Mungkin setelah ini kembali kunikamati kesendirian. Berjalan ikuti angin keberbagai samudra hati. Tapi salju, salah satu yang tak akan terlupakan. “selamat tinggal salju, mengalirlah disungai yang tenang dari sekarang. Karena cukup aku jalanmu yang berkelokan!” Dari dalam perasaan yang tak terucapkan Kupandangi berbagai jenis kerinduan Tapi entah yang satu ini apa namanya Sampai sekarangpun masih kupertanyakan. Untuk salju yang jauh telah mengalir Ada rajah di lenganmu Singkapkanlah hingga menghilang Dan ikut pula aku kan terlupakan. Maafkan!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar